Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solusi Pendapatan Negara

Kompas.com - 18/02/2025, 07:20 WIB
Albertus Adit

Penulis

SEBAGAI pembuka, saya ingin menegaskan, tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili sikap PAN atau institusi apa pun.

Tulisan ini saya buat terbuka, agar masyarakat khususnya pelaku pasar domestik yakin, ada solusi untuk menjaga kepercayaan pasar.

Waktunya saya pilih setelah data resmi kinerja APBN dipublikasikan. Namun, secara informal pada 1 Februari 2025, kondisi Modul Penerimaan Negara (MPN) per akhir Januari 2025 sudah saya laporkan kepada pimpinan yang berwenang.

Baca juga: APBN Awal Tahun Tekor Rp 31,2 Triliun: Sinyal Buruk Kinerja Fiskal 2025

Kepercayaan

Kita tahu, sektor keuangan global mulai demam.

Di sisi lain, pada awal November 2024 saya pernah mengingatkan, investor asing mulai bearish terhadap pasar keuangan Indonesia.

Pesan itu saya sampaikan kepada beberapa menteri dan Dewan Pakar Prabowo-Gibran, setelah saya pulang dari diskusi reguler dengan pelaku pasar asing di Singapura.

Waktu itu saya sampaikan, ekspektasi asing terhadap kurs rupiah adalah Rp 16.300 per dollar AS dan IHSG 6.900 pada tutup tahun.

Ternyata, ekspektasi tersebut terealisasi lebih cepat untuk rupiah. Untuk IHSG, realisasinya lebih lambat, tapi jatuhnya lebih dalam.

Baca juga: Rupiah Menguat ke Rp 16.350, tapi Dana Asing Kabur Rp 10 Triliun dalam Sepekan

Faktor utamanya adalah kepercayaan pasar.

Jika kepercayaan tinggi atau membaik, konsumen akan berbelanja lebih banyak; pelaku bisnis akan menaikkan investasi, produksi, dan perekrutan. Pasar cenderung bullish.

Jika sebaliknya, konsumen mengerem belanja; pelaku bisnis mengerem investasi dan produksi, serta mengurangi karyawan. Pasar cenderung bearish.

Beberapa bulan ini, erosi kepercayaan mulai terlihat. Di tingkat global, perang dagang dengan instrumen tarif menjadi salah satu penyebabnya.

Di tingkat nasional, sumber utamanya adalah persepsi terhadap kredibilitas APBN 2025. Pasar melihat, pemerintah kesulitan membiayai pos-pos belanja negara yang besar.

Akibatnya, opsi yang tersedia adalah: (a) realokasi belanja, (b) menambah pembiayaan (utang), dan atau (c) mengenjot pendapatan.

Banyak pihak, baik domestik maupun asing, melihat opsi (c) sangat kecil peluangnya. Bahkan, sebagian mereka kurang yakin target pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun akan tercapai.

Jadi, menurut mereka, yang paling mungkin adalah opsi (a) dan (b).

Hal tersebut diucapkan langsung kepada saya, baik oleh pelaku atau analis pasar di Jakarta dan Singapura maupun oleh duta besar atau diplomat senior dari negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Pasifik.

Baca juga: Erick Thohir Sebut Kebijakan Donald Trump Jadi Penyebab IHSG Terpuruk

Dengan berbagai langkah efisiensi, mereka melihat opsi (a) sudah terjadi. Namun, mereka juga tahu, opsi (b) semakin mahal biayanya. Dinamika global membuat para manajer dana lebih memilih kualitas dan keamanan.

Sekarang, kekhawatiran mereka terhadap opsi (c) juga terbukti dari rilis APBN KiTa. Karena itu tidak heran jika Morgan Stanley dan Goldman Sachs menurunkan peringkat obligasi Indonesia.

Kita tidak bisa meremehkan erosi kepercayaan di atas. Jika kepercayaan runtuh, dampaknya akan sangat merusak.

Karena itu, kita harus bertindak maksimal membalikkan erosi tersebut. Dan ini perlu menjadi proritas mendesak pemerintah.

Pendapatan negara

Karena sumber keraguan awalnya adalah kredibilitas APBN 2025, solusinya harus dimulai dari APBN juga. Yaitu, kita harus menggenjot pendapatan negara.

Di sinilah saya berbeda pandangan dengan teman-teman di atas.

Mereka cenderung "menyerah" mengenai opsi (c). Sementara saya melihat cukup banyak sumber pendapatan negara yang "belum dikumpulkan" dan atau "belum digali".

Baca juga: APBN Februari 2025 Defisit Rp 31,2 Triliun, Berbanding Terbalik dengan Tahun Lalu

"Belum dikumpulkan" berarti dananya seharusnya masuk APBN tapi karena sesuatu hal—biasanya politis—dana tersebut tidak masuk. Sedangkan "belum digali" berarti potensi pendapatan negara akan muncul jika dibuat kebijakan yang tepat.

Lalu bagaimana mewujudkannya?

Mari kita lihat apa yang pernah dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Karena terikat etika dan aturan kerahasiaan, saya hanya bisa menyampaikan data dan informasi yang terbuka untuk publik.

Pada 26 November 2015, Menkeu Bambang Brodjonegoro dan Kepala BIN Sutiyoso (Bang Yos) menandatangani nota kesepahaman, antara lain terkait pendapatan negara. Beritanya ada di media.

Terdapat beberapa pendapatan negara yang "belum dikumpulkan" yang menjadi target. Sebagai ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN, saya ditugasi Bang Yos menanganinya.

Dalam tulisan ini, saya akan tunjukkan contoh yang berasal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bersifat terbuka, yaitu kasus sengketa pajak yang sudah inkracht.

Singkatnya, wajib pajak (WP) menggugat keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ke pengadilan pajak. Pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan WP wajib membayar semua kewajiban pajaknya.

Ternyata, terdapat cukup banyak WP yang enggan membayar kewajiban tersebut. Pada 2015, nilainya mencapai lebih dari Rp 90 triliun. Saya lupa pastinya.

Baca juga: Anjloknya Penerimaan Pajak di Awal Tahun

Sebagai uji coba, pada awal 2016 dilakukan operasi intelijen (opsin) terhadap WP dengan kewajiban terkecil. Meski awalnya "membandel", WP akhirnya mau membayar akibat opsin tersebut.

Dengan keberhasilan ini, Kemenkeu-BIN menyiapkan opsin yang lebih besar. Sayangnya, Mas Bambang diganti pada 27 Juli 2016 dan Bang Yos pada 9 September 2016.

Saya sendiri memilih tidak lanjut. Bang Yos lalu memberhentikan para personel DISK sebelum lengser.

Saya tidak tahu berapa nilai kasus pajak inkracht tersebut sekarang. Perlu diingat, kasus ini hanyalah satu dari pendapatan yang "belum dikumpulkan". Ada beberapa sumber lain yang tidak bisa saya sampaikan karena kerahasiaan intelijen.

Pada 2017, pengalaman BIN tersebut saya jadikan tulisan ilmiah populer berjudul "Stabilitas Fiskal Berbasis Teknologi dan Intelijen", sebagai bagian dari buku Menuju Ketangguhan Ekonomi: Sumbang Saran 100 Ekonom Indonesia, Penerbit Buku Kompas, halaman 38-42.

Rendahnya PPN

Saya sering menyampaikan, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kita terlalu rendah.

Bayangkan, target PPN pada 2025 ditetapkan Rp 917,78 triliun atau hanya 3,77 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Padahal, APBN 2025 disusun dengan asumsi tarif PPN 12 persen. Di sisi lain, target PPN 2025 itu sudah dinaikkan 18 persen dari target 2024.

Baca juga: Penerimaan Pajak RI Anjlok 30 Persen, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Artinya, gap antara tarif PPN dengan realisasinya terlalu besar. Alasan yang sering disampaikan adalah fasilitas bebas PPN.

Harus diakui, banyak barang atau jasa yang bebas PPN. Namun, gap sekitar 7-8 persen itu juga menunjukkan kebocoran serius dalam sistem PPN masukan dan keluaran.

Opsin dan teknologi bisa menekan kebocoran ini.

PNBP

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saya pilih sebagai contoh pendapatan "belum digali".

Sebenarnya PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) juga memiliki sumber yang "belum digali". Namun karena memerlukan revisi UU, prosesnya lebih memakan waktu.

Untuk PNBP, prosesnya lebih cepat karena revisi UU belum dibutuhkan. Cukup dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru atau revisi PP yang relevan.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, PNBP bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, serta pengelolaan dana dan hak negara lainnya.

Baca juga: Penerimaan Negara 2024 Rp 2.842,5 Triliun, Lampaui Target berkat PNBP dan Hibah

Saya ambil contoh, peluang PNBP dari spektrum elektromagnetik (SE). SE sebenarnya merupakan sumber daya alam. Sayangnya, kita belum maksimal memanfaatkannya.

Contohnya, ada sebuah teknologi inter-operabilitas yang sudah dipakai beberapa negara, tapi Indonesia belum. Jika pemerintah mengizinkan teknologi ini, sambungan internet jadi lebih cepat dan biaya data lebih murah.

Atas manfaat tersebut, negara dapat mengenakan PNBP, yang menurut hitungan sementara sebesar Rp 9-20 triliun per tahun. Ini baru satu teknologi, sementara masih ada beberapa teknologi lain.

Sumber PNBP yang lain ada banyak, seperti dari sektor lingkungan hidup, industri, perdagangan, standarisasi, dan sebagainya.

Jika Indonesia menerapkan regulasi tertentu seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, China, India, Korsel, dan Taiwan, sebuah perusahaan audit terkemuka nasional menghitung ada potensi PNBP Rp 50 triliun per tahun dari sektor-sektor tersebut.

Penutup

Sebagai catatan akhir, saya pernah menyebutkan adanya pembiayaan Rp 116,4 triliun yang bisa dirilis melalui perubahan satu peraturan.

Angka tersebut dihitung pada Juni 2023, ketika pasar keuangan stabil. Dalam kondisi rupiah dan saham sekarang, opsi tersebut tidak valid lagi.

 

Baca berita tanpa iklan. jogo bicho juiz de fora
Baca berita tanpa iklan. avenida primeiro de agosto
Baca berita tanpa iklan. lotofacil concurso 3180
Baca berita tanpa iklan. quanto ficou o jogo do vasco hoje
Baca berita tanpa iklan. resultado da loteria dos sonhos lotece
Baca berita tanpa iklan. casas de apostas que tem fortune tiger
Baca berita tanpa iklan. lotofácil 3094
Baca berita tanpa iklan. resultado jogo do bicho pernambuco aval
Baca berita tanpa iklan. fortune tiger agora
Baca berita tanpa iklan. resultado jogo do bicho ao vivo jb
Baca berita tanpa iklan. resultado daqui loteria
Baca berita tanpa iklan. palpite do jogo de bicho hoje
Baca berita tanpa iklan. quinto da popular de hoje